Selasa, 10 Februari 2009

Kenapa Lagu Ini Begitu Berarti???

Aku Masih Termenung
Di Tengah Kesepian
Berharap Sesuatu
Yang Tak Pasti

Engkau Sangat Menjeratku
Sungguh Ku Hanya Inginkan
Hatimu Yang Telah Termiliki

Iblis Di Dalam Dada Ini
Terus Mengusik Keyakinanku
Ku Bertanya Apakah Aku Bisa
Memiliki Hatinya


Aku Merasa Tenang
Saatku Mencoba Untuk
Selalu Membayangkan Wajahmu

Iblis Di Dalam Dada Ini
Terus Mengusik Keyakinanku
Ku Bertanya Apakah Aku Bisa
Memiliki Hatinya

Jumat, 16 Januari 2009

Ikhwan Sejati dan Akhwat Sejati

Ikhwan Sejati

"Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari badannya yang kekar,
tetapi dari kasih sayangnya pada orang lain di sekitarnya.

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari jumlah sahabat di sekitarnya,
tetapi dari sikap bersahabatnya pada generasi muda bangsa.

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari bagaimana dia dihormati di tempat kerja,
tetapi bagaimana dia dihormati di dalam rumah.

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari kerasnya pukulan,
tetapi dari sikap bijaknya memahami persoalan.

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari dadanya yang bidang,
tetapi dari hati yang berada di baliknya itu.

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari banyaknya akhwat yang memuja,
tetapi dilihat dari komitmennya terhadap akhwat yang dicintainya.

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari jumlah barbel yang dibebankan,
tetapi dari tabahnya ia menjalani liku-liku kehidupan.

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari kerasnya ia membaca Al Qur'aan
tetapi dari istiqomahnya dalam melaksanakan apa yang ia baca.

Akhwat Sejati

Bukan dilihat dari kecantikan parasnya…
Tetapi dari kecantikan hati yang ada dibaliknya…

Bukan dilihat dari bentuk tubuh yang mempesona…
Tetapi dari sejauh mana dia berhasil menutup tubuhnya…

Bukan dilihat dari begitu banyaknya dia melakukan kebaikan…
Tetapi dari keikhlasannya memberikan kebaikan itu…

Bukan dilihat dari seberapa indah lantunan suaranya…
Tetapi dari apa yang sering mulutnya bicarakan…

Bukan dilihat dari keahliannya berbicara…
Tetapi dari bagaimana caranya berbicara….

Bukan dilihat dari keberaniannya berpakaian…
Tetapi dari sejauh mana dia mempertahankan kehormatannya…

Bukan dilihat dari kekhawatirannya digoda orang dijalan…
Tetapi dari kekhawatiran dirinya yang membuat orang tergoda…

Bukan dilihat dari seberapa banyak dan besar ujian yang dijalani…
Tetapi dari sejauh mana dia menghadapi ujian dengan kesabaran…

Bukan dilihat dari sifat supelnya bergaul…
Tetapi dari sejauh mana dia menjaga kehormatannya dalam bergaul…


Kamis, 15 Januari 2009

Menjembatani Pro dan Kontra UU Pornografi

Polemik Undang-Undang Pornografi sebelum dan setelah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, masih terpusat pada: (a) terminologi ‘porno’ dan ‘yang porno’ yang masih multitafsir; (b) kekhawatiran akan ancaman potensial bagi disintegrasi bangsa; dan (c) kriminalisasi perempuan dan anak-anak. Sesungguhnya, ketiga fokus polemik itu berangkat dari satu persoalan induk, yaitu persepsi tentang ancaman hegemoni kelompok identitas yang satu atas kelompok identitas yang lain dalam bentuk pemaksaan sistem nilai suatu kelompok identitas atas semua kelompok identitas yang lain (sebuah kondisi yang mencederai prinsip-prinsip pluralisme dalam masyarakat multikulturalisme).

Bagi mereka yang setuju dengan UU Pornografi, fenomena maraknya pornografi di Indonesia dianggap sebagai bentuk ancaman nyata dan amat serius terhadap sistem nilai yang dianut kelompoknya. Ancaman itu berbentuk hegemoni kebudayaan sekuler dari Barat yang liberal atas sistem nilai masyarakat religius dari Timur yang menjaga norma-norma secara ketat.

Mereka yang menolak UU Pornografi membangun persepsi bahwa undang-undang tersebut mengandung ancaman potensial yang berbentuk hegemoni sebuah sistem nilai dari kelompok masyarakat pro-UU Pornografi ke dalam ruang publik dan berpotensi menggusur hingga meniadakan sistem nilai yang sudah ada. Hal ini termasuk nilai-nilai yang sudah diterima sebagai common ground, yang mendukung kebersamaan dalam keberagaman selama ratusan tahun di negeri ini.

Sehingga kemudian, muncul kecemasan atas hegemoni kelompok yang satu atas kelompok yang lain dalam upaya merebut dan menguasai ruang publik. Hal ini berlanjut kepada resistensi terhadap upaya hegemoni dan penguasaan ruang publik oleh hanya satu kelompok identitas saja.

Pertanyaannya; bagaimana menjembatani kesenjangan persepsi di antara kelompok-kelompok yang berbeda posisi terhadap UU Pornografi itu, agar substasi dan tujuan UU ini dapat tercapai tanpa mencederai keberagaman dan kebersamaan kita sebagai bangsa?

Untuk menjawab pertanyaan di atas diperlukan upaya dekonstruksi makna yang lebih mendasar yang secara epistemologis mempertanyakan proses konstruksi makna pada level persepsi hingga proses konstruksi (menjadi) pengetahuan pada level konsepsi. Jawaban-jawaban itu menjadi ‘dasar’ dan ‘melampaui’ (beneath and beyond) apa yang diperdebatkan di permukaan sekarang ini. Fokusnya bukan lagi apa itu porno atau pornografi, melainkan mengapa suatu keadaan atau obyek dianggap porno atau pornografi. Artinya kita harus berbicara mengenai diskursus porno dan pornografi itu sendiri sebagai epistemologi pengetahuan dan tindakan.

Sumbangan dari pendekatan diskursif ini akan membantu para pihak untuk menemukan kesamaan-kesamaan yang sesungguhnya ada dalam cara pandang pihak-pihak yang bertentangan. Dengan demikian, dapat diperoleh sebuah common ground bagi para pihak yang berbeda untuk mencegah apa yang hendak dicegah oleh UU Pornografi dan menyelamatkan apa yang perlu diselamatkan akibat penerapan undang-undang tersebut.

Untuk itu, diperlukan ruang untuk saling belajar memahami posisi masing-masing, terutama memahami argumentasi para pihak yang berbeda prinsip. Memahami argumentasi mengapa para pihak berbeda posisi dan prinsip sangat membantu menghindari konflik yang tidak perlu terjadi akibat ketidaktahuan (ignorance), akibat prasangka (prejudice), dan akibat kebencian (enmity/hostile) yang ditimbulkannya. Pengendalian potensi konflik pada level pembentukan sikap terhadap konflik (conflict attitude) sangat membantu mencegah kerusakan yang lebih parah manakala sikap tersebut itu sudah bertransformasi menjadi perilaku konflik (conflict behavior).

Konstruksi Pengetahuan tentang ‘Yang Porno’

Pengetahuan kita tentang pengertian ‘yang porno’ tidak terjadi dalam ruang hampa, bukan juga karena proses perenungan. Sekalipun kamus bisa memberi jawaban instant dalam bentuk definisi atau arti kata, namun kamus hanya menjadi referensi, bukan asal mula berkembangnya ide dan pengertian tentang ‘yang porno’ itu sendiri. Ketika saya mengatakan bahwa sebuah keadaan atau obyek adalah porno, pada saat itu saya mengerahkan semua pengetahuan saya untuk mengatakan bahwa hal itu porno berdasarkan: (a) apa kata orang-orang di sekitar saya tentang ‘yang porno’ atau ‘pornografi’ (rujukan nilai-nilai sosial budaya); (b) apa kata agama saya (rujukan teologis/ideologis); (c) apa kata negara (rujukan hukum positif); (d) apa kata masyarakat umum terkait nilai dan norma universal (rujukan moral dan etika); (e) dan apa persepsi pribadi saya, terlepas dari apa kata orang di sekitar saya (pertimbangan subyektif).

Penolakan terhadap UU Pornografi (atau bagian tertentu dari UU itu) lebih disebabkan oleh persepsi, bahkan sikap apriori, yang terbentuk. Persepsi-persepsi yang terbentuk itu mengatakan bahwa isi dan semangat UU Pornografi hanya merujuk pada (a) nilai-nilai sosial budaya kelompok masyarakat tertentu (dan tidak mewakili pandangan semua kelompok budaya dalam realitas kemajemukan dan tidak merupakan hasil konsensus); (b) norma agama dan ideologi tertentu (dan tidak melibatkan, bahkan mengabaikan, norma agama dan ideologi kelompok-kelompok lain); (c) sumber hukum di luar hukum positif yang berlaku di negara ini (padahal kita sudah punya sejumlah UU, misalnya KUHAP, yang mampu menangani masalah yang hendak diatur oleh UU Pornografi); (d) nilai-nilai moral dan etika dari sudut pandang agama tertentu (padahal kita sudah punya sejumlah konsensus bersama tentang apa yang baik dan buruk yang juga berlaku secara universal dan sejauh ini berfungsi dengan baik dalam sejarah peradaban umat manusia.

Mengapa perlu ada aturan baru dengan embel-embel nilai moral dan etika dari sudut pandang tertentu?); (e) persepsi kelompok tertentu berdasarkan pengalaman sosial keagamaan mereka (padahal saya dan kelompok agama saya berhak mempunyai persepsi dan preferensi sendiri tentang apa yang baik dan tidak baik. Saya sebagai perempuan, misalnya, memiliki otonomi atas diri saya, dan saya tidak pernah menyerahkan privacy saya untuk dikontrol oleh orang lain atau lembaga manapun termasuk lembaga negara).

Pembentukan Diskursus ‘Yang Porno’ dan Sistem Diskursif Tunggal

Debat tentang konsep dan/atau pengertian ‘yang porno’ dan ‘pornografi’ dalam UU-Antipornografi menyentuh dua persoalan fundamental, yaitu masalah pembentukan diskursus (the construction of a discourse) tenang ‘yang porno’ dan masalah hegemoni sebuah sistem diskursif tunggal (hegemony of single discursive system). Yang pertama berbicara tentang pembentukan diskursus ‘yang porno’. Ada pernyataan yang memiliki kebenaran (veritas) dan uji kebenaran (verifikasi) atau uji kesalahan (falsikasi) pada realitas obyek. Misalnya, ‘batu itu keras’, ‘langit itu biru’ atau kuda itu jantan’. Hal ini berbeda dengan pernyataan seperti ‘lukisan itu porno’, ‘tarian itu erotis’, ‘tubuh gadis itu seksi’, dan sebagainya. Kebenaran dan kualitas kebenaran tentang ‘yang porno’, ‘yang erotis’, dan ‘yang seksi’ tidak sepenuhnya diverifikasi dengan menguji obyek. Persoalannya sederhana: apa yang dianggap porno, erotis dan seksi menurut persepsi si A bisa saja menjadi ‘sangat tidak porno’, ‘sangat tidak erotis’ dan ‘sangat tidak seksi’ alias ‘biasa-biasa saja’ menurut persepsi orang lain. Artinya di sana ada bias subyektivitas dalam memaknai realitas dan kualitas sebuah obyek.

Peran subyektivitas dalam membangun makna atau memaknai sesuatu (the consruction of meaning) dilakukan dengan mengerahkan semua referensi pengetahuan dan pengalaman subyektif yang dimiliki secara a priori. Bahwa sebuah lukisan dianggap porno(grafi), sebuah tarian atau gerakan dianggap erotis(me), dan seorang gadis dianggap mengeksploitasi daya tarik seksual pada dirinya untuk mengoda orang lain – semuanya merupakan proses pembentukan persepsi dengan mempergunakan parameter nilai-nilai yang dianut kelompok identitas tertentu. Artinya, di balik label porno itu terdapat sebuah sistem nilai dan ideologi dari kelompok identitas tertentu yang mendukungnya. Mereka yang berasal dari kelompok identitas lain biasanya tidak mempunyai persoalan atau ganjalan dengan isi paket sistem nilai yang diusung karena pada dasarnya mereka tidak setuju pornografi dan segala sesuatu yang vulgar di depan umum. Yang jadi persoalan atau ganjalan adalah ‘label’ paket.

Label atau merek bukan sekadar penanda yang netral. Penanda menunjukkan identitas. Simbol-simbol agama yang diselundupkan ke dalam definisi dan terminologi pasal-pasal dan ayat-ayat UU Pornografi dipersepsi sebagai simbol kehadiran kelompok identitas tertentu yang hendak memberlakukan dirinya untuk semua. Artinya, UU itu sendiri adalah sebuah bentuk hegemoni identitas. Karena itu perlawanan terhadap UU itu juga mengambil bentuk perlawanan kelompok identitas. Kelompok identitas yang satu melihat potensi ancaman tersubordinasi oleh kelompok yang terus merangsek ke dalam ruang publik untuk membangun dominasi mereka atas kelompok identitas lain. Pada saat yang sama, kelompok yang superior atau menganggap diri superior akan terus berupaya menjaga posisi superior mereka dengan berupaya melestarikan sistem sosial yang asimetris di mana hanya ada satu sistem diskursus yang berlaku. Dengan demikian pembentukan wacana UU Pornografi telah menjadi tindakan sebuah kelompok identitas untuk menggengam kekuasaan (act of appropriation of power).

Di sini berlaku logika dari the construction of a discourse dan hegemony of single discursive system. Pesan yang muncul adalah: “Mari kita ciptakan wacana bahwa UU Pornografi itu baik, sesuai dengan nilai dan norma agama dan masyarakat kita. Nilai dan norma agama dan masyarakat lain incompatible dengan nilai dan norma agama dan masyarakat kita. Jika anda setuju maka mari terima UU Pornografi itu. Kalau UU Pornografi sudah disetujui berarti UU itu seterusnya mendukung sistem nilai kita.” jadi, UU Pornografi bukan untuk mengatur pornografi melainkan untuk memberlakukan sistem nilai dan norma agama dan masyarakat kita. Prioritas implementasi lalu bergeser. Pertanyaan: “Apakah pornografi akan hilang dengan hadirnya UU Pornografi itu?” Itu persoalan kedua! Persoalan pertama dan utama adalah bahwa sistem nilai kelompok pengusung gagasan sudah diterima dan diakomodasi dalam hukum positif dan berlaku sebagai sistem diskursus tunggal untuk semua! Terjadilah hegemoni kekuasaan!

Potensi Konflik: hegemoni membangkitkan prejudice, conflict attitude dan conflict behavior

Potensi konflik dalam UU Antipornografi, selain ancaman pluralisme seperti yang sering diangkat ke permukaan, terletak pada kesadaran dan persepsi yang terbentuk tentang potensi ancaman hegemoni kelompok identitas yang satu atas kelompok identitas yang lain. Setiap perlawanan dari kelompok yang dirugikan, dari mereka yang tersubordinasi akibat adanya UU ini akan dipersepsi oleh mereka yang diuntungkan karena setuju dengan adanya UU ini sebagai perlawanan terhadap kelompok identitas mereka.

Setiap wacana pro-kontra UU Pornografi dibuka, setiap kali itu pula terjadi proses pengerasan prasangka antarkelompok (prejudice) dan penguatan conflict attitude pada pihak-pihak yang berseberangan, karena masing-masing pihak akan bertahan pada posisi masing-masing. Arena, level dan substansi konflik bergeser dari undang-undang; dari masalah pengertian, dan pro-kontra menjadi segregasi kelompok sosial dan polarisasi kawan-lawan (self-others). Mereka yang tidak tahu dan tidak paham substansi UU ini pun bisa menjadi lawan satu terhadap yang lain karena arena konflik telah bertransformasi dari konflik wacana menjadi konflik (antarkelompok) identitas. Aksi membela atau menentang UU Pornografi berubah menjadi konflik antarkelompok identitas. Buktinya, orang yang belum pernah membaca pasal-pasal dan ayat-ayat UU Pornografi sakali pun berani maju paling depan dengan wajah paling sangar dalam menghadang mereka yang berbeda posisi dengan kelompok mereka. Orang itu jelas tidak sedang membela isi sebuah UU yang ia tidak kenal tetapi sedang membela kelompok identitas di mana ia berafiliasi.

Tradisi Civil Society dan Civic Virtue

UU Antipornografi berambisi terlalu luas untuk mengatur semua hal, baik di ranah negara maupun di ranah masyarakat. Sesungguhnya di sana ada perbedaan makna dan fungsi ‘regulasi’ dalam tradisi civil society dan dalam tradisi civic virtue (keadaban publik) . Dalam civil society masyarakat lebih merupakan kerumunan individu-individu yang saling berebut kepentingan. Di sana tidak ada komunitas (latin: co-munere à communio = menghuni/berdiam besama-sama). Tidak ada bingkai, jalur, alur, kotak, pemisah, pagar, yang membatasi individu atau kerumunan individu-individu itu dari bahaya saling mengkooptasi dan saling meniadakan. Untuk itu dibutuhkan regulasi. Regulasi diciptakan untuk mengatur perilaku individu atau kerumunan individu-individu itu karena individu-individu itu tidak mampu mengatur diri mereka sendiri! Tanpa regulasi, seperti UU Pornografi, mereka akan saling memangsa.

Tolok ukur suatu tindakan atau keadaan sebagai baik dan benar dalam tradisi civil society bukan lagi mengacu kepada konsensus sosial yang menjadi tradisi civic virtue (seperti; mengutamakan nilai-nilai kearifan, tenggang rasa, tepa selira dan sebagainya) melainkan pada ketentuan pasal dan ayat undang-undang atau peraturan formal. Sebaliknya, dalam tradisi civic virtue, rujukan penilaian suatu tindakan atau keadaan sebagai baik atau tidak baik, benar atau salah, terletak pada konsensus masyarakat. Civil society menekankan prinsip legalitas, sementara civic virtue menekankan prinsip legitimasi. Sebuah produk UU yang legal secara hukum (karena melalui proses legislasi secara demokratis) belum tentu juga ‘sah’ secara moral dan etika sosial karena minus penerimaan dan apresiasi sosial. Padahal, apa yang disebut sebagai civic virtue (belakangan muncul istilah civic religion untuk hal yang sama), merupakan apa yang oleh Robert Putnam disebut sebagai social capital. Porno dan pornografi itu domain primernya berada di ranah sosial, bukan hukum! Hukum berurusan dengan produksi dan distribusi produk pornografi. Hukum mengatur proses-proses yang berada di luar jangkauan kompetensi masyarakat. Apa yang bisa diatur, dan berada dalam lingkup kompetensi masyarakat, hendaknya diserahkan kepada masyarakat.

Dalam konteks dan latarbelakang pengertian seperti ini: (a) sebaiknya negara melalui UU ini cukup mengatur ranah legalitas suatu tindakan yang terkait hak-hak sipil setiap warga di ruang publik, sementara (b) masalah moralitas masyarakat dan urusan privat masyarakat sebagai baik atau buruk, pantas atau tidak pantasnya suatu tindakan atau keadaan, hendaknya dikembalikan kepada masyarakat atau melalui otoritas lembaga agama, adat dan sebagainya. Di sana setiap parameter baik dan buruk, pantas atau tidak pantas memiliki konteks sosial yang mengakar; (c) para pihak yang berseberangan, dengan fasilitasi oleh pihak pemerintah, mulai duduk bersama membicarakan dan merumuskan apa saja yang menjadi kesamaan (commonness) dari setiap kelompok identitas yang dapat dijadikan common ground dalam mengatur persoalan pornografi di Indonesia. Hal-hal yang berpotensi menimbulkan friksi hendaknya didekati dengan cara yang lebih bijaksana. Upaya meyakinkan setiap kelompok tentang alasan dan argumentasi yang melandasi perbedaan posisi masing-masing akan bermanfaat dalam menghindari upaya-upaya kelompok garis keras dalam memaksakan kehendak mereka. Politik kooptasi dan hegemoni hanya dapat dicairkan melalui teknik-teknik persuasif, bukan konfrontasi.

Robert B. Baowollo, peneliti independen masalah-masalah ethnoreligious conflict, fundamentalism dan multiculturalism, kontributor mediabersama.com

http://mediabersama.com/

PERKEMBANGAN TEKNOLOGI INFORMASI

I. PENDAHULUAN Istilah TI (Teknologi Informasi) atau IT (Information Technology) yang populer saat ini adalah
bagian dari mata rantai panjang dari perkembangan istilah dalam dunia SI (Sistem Informasi) atau IS (Information
System). Istilah TI memang lebih merujuk pada teknologi yang digunakan dalam menyampaikan maupun mengolah
informasi, namun pada dasarnya masih merupakan bagian dari sebuah sistem informasi itu sendiri. TI memang secara
nota bene lebih mudah dipahami secara umum sebagai pengolahan informasi yang berbasis pada teknologi komputer
yang tengah terus berkembang pesat. Sebuah Sistem TI atau selanjutnya akan disebut STI, pada dasarnya dibangun di
atas lima tingkatan dalam sebuah piramida STI. Berurutan dari dasar adalah : konsep dasar, teknologi, aplikasi,
pengembangan dan pengelolaan.

II. JARINGAN KOMPUTER Meluasnya penggunaan jaringan komputer merupakan motor bagi perkembangan internet.
? Jaringan? yang dimaksud dalam hal ini adalah cara untuk merangkaikan beberapa komputer sehingga setiap
komputer yang ada di dalamnya dapat saling berhubungan dan berbagai sumberdaya seperti printer dan perangkat
penyimpanan data. Dewasa ini, jaringan komputer hadir dalam berbagai bentuk dan ukurannya. Jaringan
memungkinkan para pemakai menggunakan perangkat yang bernilai sangat mahal secara bersamaan. Misalnya bila
masing- masing komputer dikantor memiliki printer laser sendiri, maka biaya yang harus dikeluarkan menjadi sangat
mahal. Akan jauh lebih murah bila satu printer laser digunakan secara bersama-sama dalam satu jaringan. Ini berarti
setiap komputer dalam jaringan tersebut tersambung ke printer yang digunakan secara bersama-sama melalui kabel.
Beberapa tipe jaringan juga memungkinkan pemakainya untuk menggunakan program secara bersamaan dan saling
berkirim pesan menggunakan komputer yang disebut surat elektronik (e-mail). Setiap orang pada suatu komputer dapat
mengirim pesan ke suatu atau lebih pengguna komputer lain dalam kantor yang sama. Pengguna tersebut dapat juga
menggunakan jaringan untuk memindahkan file dari suatu komputer lainnya. Model jaringan semacam ini disebut
sebagai jaringan lokal (Local Area Network) karena jaringan tersebut berada dalam suatu lokasi fisik yang sama.
Banyak perusahaan besar memiliki kantor di beberapa kota. Masing-masing kantor biasanya juga memiliki jaringan lokal.
Untuk menghubungkan jaringan-jaringan lokal tersebut, digunakan jaringan telepon berkecepatan tinggi, sehingga
terbentuklah jaringan yang lebih luas ( Wide Area Network). Perusahaan multi-nasional yang memiliki kantor di
beberapa Negara yang berbeda, dapat pula memiliki jaringan di antara kantor-kantornya. Satelit dan saluran telepon
khusus memungkinkan perusahaan untuk membentuk jaringan luas global (Global Wide Area Network). Jaringan ini
memungkinkan kantor-kantor yang ada di Jakarta dan Londong berbagai informasi secara efisien, sehingga pengguna
komputer di Jakarta merasa seperti berada di suatu ruangan dengan komputer-komputer yang berada di London.

III. TENTANG INTERNET Pengertian internet sangat beragam. Pertama, internet adalah kumpulan yang luas dari
jaringan komputer besar dan kecil yang saling bersambungan menggunakan jaringan komunikasi yang ada di seluruh
dunia. Kedua, internet juga diartikan juga diartikan sebagai keseluruhan manusia yang secara aktif berpartisipasi,
sehingga membuat internet menjadi sumberdaya informasi yang sangat berharga. Internet adalah kumpulan dari
jaringan komputer yang ada didunia yang saling terhubung (network of networks). Internet terdiri dari ribuan jaringan
komputer lokal dari berbagai tipe dan ukuran yang dikelolah oleh masing-masing organisasi. Internet merupakan
kumpulan dari jaringan global yang saling tersambung. Tidak seperti jaringan perusahaan yang hanya terbatas pada
karyawan perusahaan tersebut, internet bisa diakses oleh setiap orang yang memiliki sebuah komputer pribadi yang
dilengkapi dengan sebuah modem. Agar internet bisa beroperasi, harus ada hubungan antar komputer dan terdapat
suatu standart yang mengatur bagaimana komputer-komputer tersebut berkomunikasi. Hubungan antar komputer bisa
melalui berbagai media seperti kabel,gelombang mikro, radio atau serat optik. Jalur antar dua titik dalam internet bisanya
melalui saluran yang secara fisik dikelola oleh berbagai organisasi yang berbeda-beda. Seluruh jaringan di internet
saling berkomunikasi dengan menggunakan bahasa komputer standar (secara teknis disebut protocol). Yang disebut
TCP/IP (Trasmission Control Protokol/internet protokol). Protocol ini merupakan cara standart untuk mempaketkan dan
mengalamatkan data komputer (sinyal elektronik) sehingga data tersebut dapat dikirim ke komputer terdekat atau keliling
dunia dan tiba dalam waktu yang cepat tanpa mengalami kecacatan atau hilan
Dengan internet anda dapat memperoleh suatu pengalaman yang tidak dapat diperoleh melalui sistem komunikasi
tradisional sebelumnya, seperti
- Masuk keberbagai perpustakaan di seluruh dunia
- Berkorespondensi dengan teman anda di seluruh dunia
- Bergabung dengan kelompok minat tertentu untuk berdiskusi dan belajar hal-hal yang paling baru
- Mencari data dan dokumen diseluruh dunia;
- Memperoleh software gratis. Dengan internet, komputer yang jauhnya setengah keliling dunia, menjadi tidak jauh
dan terasa seperti komputer lain yang ada di meja samping anda.
Ringkasan sejarah:
- 1960 Computer scientists research techniques to connect systems on a shared network.
- 1969 ARPANET (DoD Advanced Research Project Agency) connects UCLA, University of California at Santa Barbara,
Kantor Pengolahan Data Elektronik

http://kpde.sumutprov.go.id/

Permasalahan Pendidikan Indonesia Perlu Dipetakan Kembali

Jakarta, Kompas - Di tengah benang kusut permasalahan pendidikan di Indonesia, pemetaan kembali dirasa perlu. Pemetaan tersebut dapat menjadi bekal bagi pemimpin mendatang untuk pengembangan pendidikan nasional.

Demikian antara lain terungkap dalam Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Menyongsong Masa Depan, Rabu (13/10). Acara itu diadakan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional.

Prof Dr HAR Tilaar berpendapat, ada delapan masalah pendidikan yang harus menjadi perhatian. Kedelapan masalah itu menyangkut kebijakan pendidikan, perkembangan anak Indonesia, guru, relevansi pendidikan, mutu pendidikan, pemerataan, manajemen pendidikan, dan pembiayaan pendidikan.

Permasalahan tersebut sebetulnya sudah teridentifikasi dalam skala berbeda dalam Penelitian Nasional Pendidikan (PNP) pada tahun 1969 saat sekitar 100 pakar pendidikan dari seluruh Indonesia berkumpul di Cipayung. Namun, setelah lebih dari 30 tahun berlalu, perubahan belum banyak.

Dia mencontohkan mengenai perkembangan anak sebagai salah satu titik sentral dari proses pendidikan anak. Pengetahuan tentang perkembangan anak Indonesia nihil. Hampir tidak ada penelitian pengembangan tentang anak Indonesia secara psikologi, antropologi, filsafat dan pedagogik.

Demikian pula terkait dengan kebijakan. Masyarakat mempunyai persepsi negatif terhadap pendidikan di Indonesia dengan pemeo "ganti menteri ganti kebijakan".

"Banyak kebijakan berganti tanpa dievaluasi sebelumnya. Dulu ada sistem cara belajar siswa aktif (CBSA), link and match, di masa reformasi muncul konsep setengah matang seperti munculnya Kurikulum Berbasis Kompetensi, manajemen berbasis sekolah, lifeskill, komite sekolah dan dewan pendidikan yang membingungkan," katanya.

Pengamat pendidikan Prof Dr Winarno Surakhmad mengatakan, mengurai benang kusut pendidikan perlu dimulai dari memahami falsafah pendidikan. Falsafah pendidikan itu yang nantinya menjadi dasar sehingga tidak masalah dengan pergantian kepemimpinan atau kebijakan.

"Hal mendasar yang dilupakan adalah pendidikan itu memanusiakan manusia dan belajar untuk hidup. Ini yang tidak disadari oleh kebanyakan guru," kata Winarno. (ine)